Pepatah Air Lubangi Batu: Tidak Cocok Untuk Adab Menuntut Ilmu
Guys, pernah denger kan peribahasa 'Ala bisa karena biasa' atau mungkin 'Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit'? Nah, seringkali kita juga mendengar analogi air yang terus-menerus menetes itu bisa melubangi batu. Keren ya, kayaknya kuat banget gitu ya daya juangnya. Tapi nih, kalau kita ngomongin soal menuntut ilmu, terutama dalam konteks adab, pepatah yang satu ini kayaknya nggak pas banget, lho.
Kenapa sih bisa begitu? Yuk, kita bedah pelan-pelan. Pepatah 'air melubangi batu' itu kan intinya adalah ketekunan, kegigihan, dan proses yang berkelanjutan untuk mencapai sesuatu yang besar, bahkan yang tadinya mustahil. Ibaratnya, batu yang keras itu kan susah banget ditembus. Tapi karena air yang jatuh terus-menerus, tanpa henti, akhirnya ada juga bolongnya. Ini bagus banget kalau kita aplikasikan ke hal-hal yang butuh ketekunan fisik atau mental jangka panjang. Misalnya, mau jago main gitar? Ya harus latihan terus-menerus, walau jari sakit-sakit di awal. Mau jadi pelari maraton handal? Ya latihannya harus konsisten, nggak bisa bolong-bolong. Mau bangun bisnis dari nol? Ya harus sabar dan terus berjuang melewati berbagai rintangan.
Nah, tapi beda cerita kalau konteksnya menuntut ilmu dengan adab. Dalam menuntut ilmu, bukan sekadar kuantitas atau durasi yang jadi patokan utama. Ada yang lebih penting, yaitu kualitas prosesnya, adabnya, dan etika kita sebagai penuntut ilmu. Coba bayangin deh, kalau kita terus-menerus ngulang materi yang sama tanpa ada pemahaman yang mendalam, tanpa bertanya kalau nggak ngerti, tanpa menghormati guru, atau tanpa mau mengamalkan ilmunya. Itu sama aja kayak air yang tetes terus ke batu, tapi batunya nggak kebentuk apa-apa, malah bisa jadi cuma bikin becek doang. Nggak ada manfaatnya, kan? Proses belajar yang beradab itu bukan cuma soal duduk berjam-jam di depan buku atau ngulang bacaan sampai mata jereng. Ini tentang bagaimana kita mendekati ilmu itu sendiri, bagaimana kita berinteraksi dengan sumber ilmu (guru, buku, ustadz), dan bagaimana kita menyerap serta mengolahnya.
Jadi, kalau kita mau jadi penuntut ilmu yang sukses dan barokah, kita perlu lebih dari sekadar ketekunan ala 'air melubangi batu'. Kita butuh adab yang luhur, niat yang tulus, dan metode belajar yang tepat. Jangan sampai kita salah kaprah, mengira bahwa belajar itu cuma soal waktu dan pengulangan. Ingat, guys, ilmu itu cahaya, dan cahaya itu nggak bisa didapat cuma dengan meneteskan air terus-menerus tanpa arah. Perlu wadah yang bersih, penerima yang siap, dan cara yang benar untuk bisa menerimanya dengan sempurna.
Membongkar Makna Ketekunan dalam Belajar
Teman-teman sekalian, mari kita selami lebih dalam lagi mengapa pepatah 'air melubangi batu' itu perlu kita tinjau ulang ketika berbicara tentang adab menuntut ilmu. Ketekunan memang adalah kunci, itu tidak bisa dipungkiri. Tanpa ketekunan, kita akan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan. Namun, ketekunan yang dimaksud dalam konteks adab menuntut ilmu itu punya dimensi yang berbeda. Ini bukan sekadar tentang mengulang-ulang tanpa henti, tapi lebih kepada proses yang disengaja, penuh kesadaran, dan disertai dengan perbaikan diri. Bayangkan seorang santri yang menghafal Al-Qur'an. Dia tidak hanya mengulang bacaannya sampai ribuan kali. Dia juga memperhatikan tajwidnya, memahami maknanya, dan berusaha mengamalkannya. Ketekunannya bukan hanya pada jumlah pengulangan, tetapi pada kesempurnaan bacaan, pemahaman, dan aplikasi. Inilah yang membedakan ketekunan biasa dengan ketekunan yang beradab dalam menuntut ilmu.
Jika kita analogikan kembali dengan batu dan air, mungkin lebih pas jika kita membayangkan air yang jatuh itu adalah air zamzam yang suci, yang memiliki keberkahan. Dan batu yang dilubangi itu bukan sembarang batu, melainkan batu hati yang keras karena kebodohan atau kesombongan. Maka, tetesan air zamzam yang terus-menerus itu bukan hanya melubangi, tapi menyucikan dan melembutkan batu hati tersebut. Ini menekankan bahwa dalam menuntut ilmu, kita perlu menyucikan niat, melembutkan hati, dan memohon keberkahan dari Allah SWT. Proses belajar yang hanya mengandalkan logika dan usaha tanpa sentuhan spiritual dan adab, ibarat batu yang dilubangi tapi tetap kering dan tandus. Tidak ada kehidupan, tidak ada pertumbuhan hakiki. Adab dalam menuntut ilmu itu yang membuat air (ilmu) itu bisa meresap, menumbuhkan tunas-tunas kebaikan di dalam hati kita.
Lebih jauh lagi, pepatah 'air melubangi batu' seringkali menyiratkan perjuangan yang sendirian dan tanpa arah yang jelas, asalkan terus menerus. Padahal, dalam menuntut ilmu, kita sangat membutuhkan bimbingan guru, diskusi dengan teman sejawat, dan petunjuk dari kitab-kitab yang sahih. Belajar itu adalah sebuah perjalanan kolektif yang membutuhkan interaksi, koreksi, dan sinergi. Jika kita hanya mengandalkan tetesan air kita sendiri tanpa mengindahkan aliran sungai yang lebih besar (ilmu dari para ulama dan guru), kita mungkin hanya akan membuat genangan kecil yang tidak berarti. Ketekunan yang beradab itu adalah ketekunan yang tahu kapan harus bertanya, kapan harus mendengarkan, kapan harus membaca, dan kapan harus merenung. Ia adalah ketekunan yang terarah, dibimbing oleh guru yang mursyid dan kitab yang menjadi pedoman.
Jadi, kesimpulannya, guys, meskipun ketekunan itu penting, kita perlu memahami esensi dari ketekunan yang sesungguhnya dalam konteks menuntut ilmu. Ini bukan hanya soal